Aku meletakkan nampan aluminium yang mangkuk sereal dan beberapa potong nugget dan sosis serta susu vanila kemasan kotak tersedia rapi di atasnya di meja yang letaknya di pojok kantin. Kombinasi makan siang yang berantakan, tapi aku tak peduli.
Aku mengaduk-aduk sereal tanpa semangat sambil memperhatikan ke sekitar yang semakin ramai oleh murid-murid. Suara Alex Turner yang mengalun penuh adiksi di telingaku digantikan dengan suara ringan khas Billie Joe Armstrong.
She
She screams in silence
A sullen riot penetrating through her mind
Bertepatan dengan lirik yang aku banget itu, terdengar seruan pelan dan sesuatu yang jatuh. Aku agak berjengit, melongokkan kepala menembus kerumunan dan bisa kupastikan mataku menangkap sosok yang selalu membuat dadaku berdebar gugup.
Dia membungkukkan badannya lalu mengambil gelas plastik bening yang isinya tumpah ke lantai, yang membuat aku harus menahan napas selama beberapa detik terpana dengan ruas punggungnya yang tercetak di balik seragam putihnya.
Dia tersenyum pada cewek berbando polkadot merah itu lalu berkata sesuatu. Cewek bertubuh mungil itu mengangguk dan membalas senyuman dia.
Aku menelan ludah. Mereka entah kenapa ... cocok. Dan aku iri.
Lalu mereka berdua kembali pada urusannya masing-masing. Dia berjalan menuju bilik yang berjualan minuman dan di sana dia bertemu dengan teman satu gengnya. Dia tertawa hingga bukan hanya bibirnya yang membentuk lengkungan ke atas tapi juga matanya. Matanya tersenyum.
Astaga.
Dia melirik sekilas ke arah sini yang membuatku sontak duduk dan menyuap serealku dengan salah tingkah yang membuat susu yang ingin kusuap berceceran di rok abu-abuku.
Dia yang membuatku sekacau ini.
Setelah merasa ia tidak melihat ke sini--siapa pula yang mau menyia-nyiakan waktunya dengan memerhatikan bagian kantin yang terpojokkan--mataku mencari-cari sosok dia. Ternyata dia sudah menghilang, entah ke mana.
"Rai!"
Aku sontak berseru, "Anjrit, lo mau bunuh gue?!"
Hampir semua orang-orang di kantin melirikku dengan mata penasaran.
"Raisa kenapa?"
Aku menyengir malu pada Brian yang duduk di meja sebelah. "Maaf, maaf, keceplosan teriaknya." Lalu aku berganti menatap cowok yang menepuk pundakku dengan tiba-tiba dengan pandangan membunuh.
"Apa?!"
Cowok itu menyengir dan tanpa kuduga, ia meraih susu kotakku tanpa izin lalu menyeruputnya sembari duduk di sebelahku.
Aku mencubit pinggangnya kesal. "Rese!"
"Sakit, Dodol!" semprotnya. Peduli amat. Masih meringis, ia mengelus-elus bekas kejahatanku. "Bagi dikit gak masalah, kan? Susu lo juga masih banyak," ia menjeda lalu menertawai aku dengan mulut terbuka lebar tak mengerti maksud ucapannya, "maksud gue, susu di sereal lo, Rai."
"Ih."
"Apa ih-ih?"
"Jorok! Susu aku bekas Rai."
Cowok berambut jambul itu tertawa keras sampai-sampai beberapa pandangan tidak suka mengarah pada kami.
Aku melotot padanya. "Kamu mikir apaan, sih! Diliatin orang lagi, kan!"
Cowok dan orang satu-satunya yang memanggilku dengan nama panggilannya sendiri, Rai, masih tertawa. Di sela-sela tawanya, ia menyeloroh, "Mereka ngeliatin kita, mungkin gara-gara gue ganteng dan lo cantik."
"Apaan, deh. Pede!" kataku pura-pura tak acuh sambil kembali menyuap serealku. Cowok di sebelahku ini benar-benar menyebalkan, ingin kutendang dia sampai Afrika dan bilang ke gajah dan jerapah di sana, Raihan adalah teman baru mereka. Dengan begitu, Raihan punya teman selain aku untuk diusili.
"Dih?" aku hanya memutar bola mata menanggapinya. "Lagian lo makan kayak orang gak semangat gitu, kenapa?"
Aku menoleh lagi ke arahnya, menatapnya geram seakan ingin meraup wajahnya. "Ini semangat, tau!" protesku sambil menyuap sereal jagung banyak-banyak ke dalam mulut.
"Iya, semangat gara-gara ada gue, kan?"
"Ada plastik buat muntah gak? Atau aku muntah aja di muka kamu?"
Satu alis tebalnya terangkat. "Dih?"
"Dah-dih, dah-dih mulu."
"Dih?" Kali ini manik mata berwarna cokelat gelapnya menelusuri wajahku membuat aku merinding sekaligus risih. Daripada berdebat lagi, aku memalingkan wajah dan meneruskan makan siangku. Tiba-tiba, Raihan menarik salah satu earphone yang menyumpal telingaku perlahan.
"Eeeh?" kataku refleks.
"Lagi dengerin apa, sih?" tanyanya ketika earphone tersebut sudah menyumpal telinganya yang sebagian tertutup oleh rambut hitam halusnya. "Oh ...."
Aku terdiam, berusaha fokus pada lagu yang mengalun di earphone. Lagu milik Green Day tadi ternyata sudah digantikan oleh ....
"Andai matamu melihat aku."
Mataku bertemu dengan manik matanya, ia tersenyum di sela-sela nyanyiannya. Aku bengong.
"Terungkap semua isi hatikuu!"
Aku masih bengong. Oke, entah ini yang keseribu sekian kalinya Raihan nyanyi di depan aku, tapi kali ini beda. Entah karena gayanya yang sok-sok penyanyi aslinya atau apa, aku tidak tahu.
"Eaaaa!" serunya dengan kerlingan jahil di matanya mengaburkan semua keklisean di antara kami.
"Nyanyi lagi dong. Bagus tau, Rai!"
"Baru tau kalo suara gue bagus? Bagus banget?"
"Raihan jadi jelek kalo kepedean mulu."
Raihan mengedikkan bahunya lalu melepas earphone-ku dari telinganya dan meletakkannya di atas meja. "Gue jadi laper kalo kepedean mulu."
Aku kembali memasang earphone lalu meliriknya sekilas. "Ya makan."
"Tapi lo tungguin sampe gue selesai makan ya."
"Gak mau," sahutku dengan ogah-ogahan, padahal aku juga malas kalau di kelas, apalagi kalau melihat teman-teman di kelasku yang baru pada pegang buku. Aku jadi pusing melihat mereka yang menurutku terlalu ambisius itu.
"Ya udah, biarin aja gue mati gak makan."
"Lebay. Iyain aja, deh, Rai."
-----
"Taroh mana kek, nanya mulu," rutukku sebelum memalingkan wajah dari cewek jangkung yang sedang mendekap bola basket di belakangku. Aku mengatupkan bibir rapat-rapat tanpa terkejut Raihan duduk di salah satu bangku penonton paling depan dan tangannya melambai-lambai ke arahku. "Apaan, sih," kataku pelan tapi ketus.
Aku masih melihat dia melambai-lambaikan tangannya saat aku menenggak habis botol air mineralku. Aku meliriknya sekilas dengan tatapan sebal sebelum menyeka keringat dengan handuk yang warnanya senada dengan kaus basketku. Mau apa, sih, Raihan? Kenapa dia gak pulang duluan? Cowok bawel kayak dia bikin aku tambah pusing aja.
Dengan malas, aku menghampirinya. "Kenapa gak pulang duluan?"
Raihan berdiri, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku. Tinggi kami memang kurang lebih sama. "Galak banget."
"Biar," aku duduk lalu merenggangkan kakiku setelah digunakan selama dua jam latihan.
"Dih? Pulang yuk, daripada lo nguring mulu di sini."
Aku menatapnya sinis. "Kan, aku baru aja duduk. Gak ngerti capek apa?"
Raihan duduk di sebelahku tanpa berkata apa-apa lalu merangkul pundakku. Aroma tubuhnya yang berkeringat menguar tercium hidungku. "Kenapa lo? Kesel sama adek kelas?"
"Ya."
"Mau ikut gue gak?"
"Kamu gak ngerti aku abis latihan ... itu capek?"
"Gue mau beli es krim, kalo gak mau lo tunggu di sini aja."
Aku menghela napas pasrah. "Ya udah, ikut."
Dia meringis lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang dipagari dengan behel berwarna hitam sederhana yang membuat aku mengubah pendapatku tentang cowok berbehel yang menurutku tidak nyaman dilihat. Nyatanya, Raihan enak dilihat, cuma orang bodoh yang bilang Raihan jelek.
"Lia udah pulang?" tanyaku sambil menimbang-nimbang es krim rasa cokelat dan es krim rasa cola di tanganku.
"Udah," jawabnya singkat sebelum meninggalkanku di depan cooler dan berjalan menuju meja kasir. Aku menaruh es krim rasa cola di cooler lalu mengintili Raihan.
Aku mengeluarkan selembar lima ribuan dari saku celana basketku dan menyerahkannya pada Raihan. "Kamu udah dikasih tau, kan, minggu depan dia ada lomba saman?"
Raihan mengangguk.
"Ikut nonton juga, kan?"
"Iyalah," sahutnya sambil memberikan uang yang jumlahnya sesuai dengan yang tertera di kasir. "Yuk."
Aku mengangguk singkat dan mengekorinya ke luar minimarket. Lonceng pintu geser minimarket berdenting pelan bertepatan dengan cowok yang mengenakan leather jacket berwarna hitam masuk minimarket serta aku dan Raihan yang berlawanan arah dengannya.
Dia ... bukannya ....
"Lah, tadi ada Arga," ucap Raihan setelah menjejakkan kakinya di luar.
Tanpa sadar, aku meremas-remas ujung jersey futsal Raihan gemas. "Raiiiii, ada Arga. Ada Arga ...," kataku setengah berbisik dengan penuh penekanan.
Raihan menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyum manis. "Iya, Rai, iya."
"Pantes aku nyium wangi-wangi gitu pas dia masuk, taunya wangi badannya. Gak kayak kamu, bau," kataku ngaco.
Raihan menyengir tipis lalu menatapku serius setelah membuka bungkus es krim rasa duriannya. "Mau gue nyanyiin sesuatu gak?"
Aku menepuk dan merangkul pundaknya bersahabat tanpa menghilangkan senyum dari bibirku. Terkadang, Raihan bisa bersikap menyenangkan juga. "Boleh."
Raihan membuka mulutnya lalu menengadahkan wajah serta kedua tangannya ke atas yang membuat dahiku berkerut. "Tuhan tolong, tolong aku."
Apa ....
"Jatuh cinta pada kekasih oraaaang!"
Setan. Raihan setan!
"Ingin lupa ku tak bisaaa!"
Aku tarik semua opiniku tentang Raihan. Semuanya.
"Sayang-sayang dia ada yang punyaaa!!!" serunya dengan suara sumbang lalu berlari menjauhiku yang memelototinya dan memasang tampang galak.
Dia menjulurkan lidahnya sebelum melanjutkan, "Sayang-sayang dia gak ada batangnyaaaa!!!"
"Raihaaaaan!" teriakku tanpa memedulikan ada yang memerhatikan atau tidak, bahkan kalau-kalau Arga ke luar minimarket. Aku tidak peduli, masalahnya si Tengil Raihan tengah meledek aku dan Arga habis-habisan. Aku mengejarnya. "Dia ada batangnya, tauu! Jangan ngaco!"
"Sayang sayang dia gak ada batangnyaaa!"
*
bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar