Ketika sudah lelah dan menemukan rumah dari segala usaha dan perjuangan, kita akan pulang ke rumah itu. Hidup sama seperti pepatah cinta barusan. Tiap yang pergi, pasti akan pulang.
Aku sudah lelah dengan menjaga agar aku tetap baik-baik saja. Ini terlalu berat. Atau hanya beban pikiranku yang berat? Entah. Karena pada akhirnya rasa lelah menungguku di ujung jalan.
Bukan aku menyerah. Kalau aku menyerah pada rumahku yang sebenarnya, orang-orang di sekelilingku pasti tak akan melihatku lagi. Namun sekarang, aku memang sedang berusaha untuk tidak terlihat di depan mereka. Aku sedang bersembunyi. Agar aku bisa menyelinap masuk ke rumahku. Di mana aku harus, akan, dan pasti kembali. Tempatku pulang.
Ibarat orang-orang zaman dahulu yang ke luar dari rumah mereka dengan menenteng ember kosong untuk diisi air di mata air terdekat. Pada akhirnya mereka akan kembali ke rumah masing-masing dengan membawa ember penuh berisi air untuk menghidupi diri mereka sendiri. Barangkali aku baru mendapatkan setetes air. Yang hanya bermanfaat sedetik mengaliri rongga kerongkonganku ketika dia merasakan dahaga. Setelahnya? Aku tak tahu dengan apa aku mengaliri batang kerongkongan yang sekering udara kemarau dan setandus padang pasir. Saat itulah aku menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu mengambil mata air untuk dibawa pulang. Aku malah bermain-main dengan ilusi. Kehidupanku yang sebenarnya kulupakan barang seribu tahun.
Umpama siang berganti malam. Malam di mana aktifitas kehidupan berhenti. Waktuku telah habis. Tak perduli aku mengisi emberku dengan air atau tidak, aku harus pulang. Tak perduli berapa banyak orang yang bergembira karena mereka tak perlu mengantri terlalu lama untuk mengisi embernya setelah kepergianku dari mata air. Tak perduli berapa banyak orang yang menangis karena mereka kehilangan yang menemaninya bermain-main dengan ilusi. Aku tetap harus pulang.
Doakan aku selamat di jalan pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar